Follower

Minggu, 20 Mei 2012

KOSMOMONISME JAWA



Alam Semesta Sebagai Suatu Realitas Tunggal dalam Hubungannya dengan Konsep Takdir
Pendahuluan
            Orang Jawa memiliki begitu banyak pandangan mengenai etika kehidupan dalam keseharian mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara lain mengenai hubungan dengan yang dipercayai, antara manusia dengan alam semesta dan mengenai hubungan antar manusia itu sendiri. Orang Jawa percaya kepada kekuatan-kekuatan roh-roh (animisme) dan kekuatan daya-daya (dinamisme) yang ada di sekitar mereka. Animisme dan dinamisme ini menjadi seperti suatu kepercayaan dalam diri orang Jawa. Namun pada praktek “penyembahan” kedua jenis kepercayaan ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.[1] Misalnya, suatu pohon yang dipercayai memiliki daya kekuatan yang magis dipercayai juga memiliki ‘penunggu’ (roh-roh). Sehingga orang Jawa menjadi penganut animodinamisme sebagai gabungan antara animisme dan dinamisme. Namun, walaupun orang Jawa percaya kepada kekuatan atau daya-daya di luar dirinya dan juga kepada roh-roh, namun orang Jawa mempercayai bahwa hanya ada satu realitas dalam alam ini yaitu alam semesta itu sendiri. Kepercayaan kepada alam semesta yang dianggap sebagai suatu realitas tunggal inilah yang disebut dengan kosmomonisme. Paham kosmomonisme adalah bahwa ada satu rangkaian alam semesta yang berputar secara teratur dan terus menerus. Setiap hal telah memiliki tempat dan kedudukannya masing. Namun, paham tentang kosmomonisme ini tidak berarti sama dengan paham tentang Allah karena pemahaman tentang kosmomonisme tidak dapat disamakan dengan pemahaman tentang Allah yang walaupun kosmomonisme ini memiliki watak dan tata tertib yang bersifat ilahi. Dari konsep mengenai kosmomonisme ini, memunculkan paham mengenai takdir. Konsep atau paham tentang takdir inilah yang akan saya bahas dalam paper ini beserta tanggapan saya mengenai paham tentang takdir ini.
Konsep Takdir dalam Kehidupan Orang Jawa
            Konsep tentang takdir dalam kehidupan orang Jawa mirip dengan konsep predestinasi di dalam kekristenan. Predestinasi dalam kekristenan adalah suatu doktrin.  Secara sederhana, predestinasi dapat dipahami sebagai suatu pemikiran yang mempercayai bahwa Tuhan telah menentukan dan memilih orang yang akan diselamatkan dan biasanya pemilihan ini telah ditentukan oleh Tuhan sebelum dunia dijadikan. Dalam tradisi orang Jawa, takdir adalah sikap hidup yang mempercayai bahwa segala sesuatu di dunia ini telah ditentukan terlebih dahulu baik waktu maupun tempatnya. Semua hal dalam dunia ini telah diatur oleh alam semesta, manusia dituntut untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan kepadanya, apa yang telah dan akan menjadi bagiannya telah ditentukan oleh alam semesta. Paham tentang takdir ini bersumber pada kosmomonisme. Manusia harus menjalani harmonika alam semesta yang telah ditetapkan itu, baik dalam kehidupannya sendiri sebagai suatu individual maupun dalam hubunganya dengan dunia luar. Dalam aturan harmoni ini, manusia diharapkan untuk tidak mendahulukan ambisi dan nafsunya sendiri tetapi lebih mengutamakan akan kepentingan kelompok (keharmonisan publik).[2] Jika manusia mendahulukan keinginnya dan ini berakibat pada ketidakharmonisan alam ini, maka manusia tersebut dianggap berdosa karena telah melanggar tata tertib alam semesta ini. Jika dalam kekristenan, konsep dosa adalah melanggar atau melakukan sesuatu yang tidak berkenan dihadapan Allah, maka dalam tradisi Jawa, berdosa adalah tidak mengikuti ketetapan-ketetapan alam semesta ini.
Dari paham tentang kosmomonisme tersebut dipercayai bahwa alam semesta ini sebagai ‘jagad gedhe’ (makrokosmos) adalah bagaikan sebuah roda yang berputar terus menerus (cakra manggilingan sewu). Bagaikan musim yang berputar secara terus menerus, datang silih berganti, demikian halnya pula dengan alam semesta ini. Semuanya telah diatur secara harmoni. Manusia pun sebagai ‘jagad cilik’ (mikrokosmos) memiliki kehidupan yang selalu berputar terus menerus, kadang di atas dan kadang di bawah (cakra manggilingan urip). ‘jagad cilik’ merupakan paradigma dari ‘jagad gedhe’.[3] Dari pemahaman tentang cakra manggilingan sewu dan cakra manggilingan urip ini yang memunculkan suatu prinsip kebahagian dan prinsi kebajikan bagi orang Jawa, yaitu Nrimo. Paham tentang Nrimo terwujud dalam ungkapan nrimo ing pandum dimana masyarakat Jawa diwajibkan untuk menerima apa yang telah menjadi bagiannya, agar tidak menyalahi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh alam semesta ini. Menerima menjadi pusaka akhir dari orang jawa dalam hubungannya dengan keinginan. Jika sesorang menginginkan sesuatu dan telah berusaha dan juga tetap tidak endapatkan apa-apa, maka Yang diharapkan dan dibutuhkan adalah menerima akan hal tersebut dan memaknainya. Segala hal yang terjadi di dalam dirinya maupun di luar dirinya, haruslah diterima sebagai bagian dari tata tertib alam semesta. Dengan mengikuti akan tatanan tersebut, maka manusia ikut menjaga akan keharmonisan yang telah diciptakan oleh alam semesta itu sendiri. Oleh karena itu, orang Jawa diajarkan agar tidak mudah terkejut jika secara tiba-tiba kehidupannya berubah, misalnya yang awalnya berada di bawah kemudian berada di atas dan begitu pula sebaliknya (aja kagetan). Selain itu, orang Jawa diharapkan untuk tidak mendahului akan kodrat alam atau apa yang telah digariskan padanya (aja  nggege mangsa) karena itu berarti bahwa manusia tersebut telah melanggar tata tertib alam semesta ini dan ini akan berakibat pada ketidakharmonisan alam semesta. Alam semesta tidak akan berjalan dengan seimbang. Oleh karena itu, tiga sikap yang harus dimiliki oleh orang Jawa adalah ikhlas, sabar dan menerima. Dengan jalan tersebut, maka orang Jawa dapat memaknai akan segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Ikhlas, sabar dan menerima merupakan satu-satunya cara untuk memahami kehidupan dan memperoleh akan kebahagian dalam diri manusia itu sendiri.[4] Kepercayaan kepada takdir tersebut jugalah yang membawa orang Jawa dalam stratifikasi status sosial dalam masyarakat yang terungkap dalam unggah-ungguhin basa (tiga lapisan pokok bahasa: ngoko, madya, krama).[5] Masyarakat Jawa diharuskan untuk menerima akan stratifikasi tersebut dan harus mengetahui tempat di mana ia harus ‘duduk’ dan ‘berdiri’.
Tanggapan terhadap konsep takdir dalam tradisi Jawa
a.      Persetujuan
            Konsep percaya kepada takdir dalam tradisi Jawa pada hakikatnya adalah baik. Di mana masyarakat Jawa diajarkan untuk dapat menerima akan segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Masyarakat Jawa diharapkan untuk selalu dapat mengikuti akan ketetapan-ketetapan yang telah ada di dalam alam semesta ini. Sikap nrima yang diajarkan dalam tradisi Jawa sangatlah baik. Orang-orang kadang tidak dapat menerima apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Misalnya, seorang pengusaha yang kaya raya dan kemudian menjadi jatuh miskin karena usahanya bangkrut. Jika ia tidak memiliki sikap menerima dan memaknai akan apa yang telah terjadi dalam hidupnya tersebut, maka orang tersebut akan selalu mempertanyakan hal tersebut dan menyebabkan tidak adanya ketenangan dalam jiwanya. Ia akan sulit untuk memperoleh akan kedamaian terutama dalam hal perasaan yang menjadi tujuan hidup semua orang.[6] Oleh karena itu, sikap yang sangat diharapkan dalam diri manusia adalah untuk selalu bersikap ikhlas, sabar dan menerima akan semua hal yang terjadi pada dirinya. Terkadang juga, manusia sering tidak puas dengan apa yang telah ada padanya dan membuatnya mencari kambing hitam dari semua yang terjadi padanya. Seorang gadis yang memiliki hidung yang pesek dan tidak dapat menerima akan keberadaannya tersebut akan selalu mempersalahkan dirinya sendiri mengapa ia tidak memiliki hidung yang mancung yang menjadi idaman semua gadis. Terkadang ia akan menyalahkan kedua orangtuanya yang menjadi sumber gen tersebut. dalam keadaan tersebut, maka sikap yang sangat diharapkan adalah menerima akan keberadaan dirinya sebagai seorang gadis yang berhidung pesek dan dengan demikian ia akan dapat memaknai akan semua hal yang terjadi dalam dirinya. Dengan sikap menerima ini juga yang akan membawa orang untuk memiliki sikap puas terhadap apa yang sudah ada. Manusia susah menerima akan kenyataan yang terjadi karena merasa tidak puas dengan hal-hal yang telah ia dapatkan dan membuat munculnya keinginan-keinginan yang baru yang malah mebuatnya menderita. Dalam Budhisme, keinginan-keinginan hidup yang berkaitan dengan nafsu merupakan sumber penderitaan yang paling utama dalam diri manusia.[7] Ketika apa yang diinginkan tidak terkabul, maka manusia akan merasa sakit dan ini akan menyebabkan penderitaan pada dirinya sendiri dan mungkin bisa berimbas kepada diri orang lain. Sikap yang diperlukan adalah sikap untuk nrimo hal-hal yang telah terjadi. Memang sulit untuk dapat menerima semua hal yang terjadi dalam diri manusia, apalagi jika hal itu merupakan hal yang pahit. Namun, jika tetap ‘mempertahankan’ akan kepahitan itu, maka yang menderita adalah diri kita sendiri. Orang lain hanya dapat memberikan solusi pada diri kita namun semua bergantung pada tindakan kita sendiri. Mau melepaskan kepahitan tersebut atau setia memeliharanya. Ada banyak hal yang dapat dikontrol oleh diri sendiri dan ada yang tidak dapat dikontrol. Hal-hal yang tidak dapat dikontrol antara lain adalah kesalahan yang telah lewat, orang tua, warna kulit dan lain-lain sedangkan hal-hal yang dapat dikontrol adalah pilihan, respon, dan sikap dari diri kita.[8] Segala hal yang telah terjadi dalam hidup kita memang tidak dapat dikontrol karena itu sudah berlalu. Namun sikap kita selanjutnya dengan kejadian yang telah menimpa diri kita yang masih dapat kita kontrol adalah penentunya.

b.      Kritik
Konsep tentang takdir ini memang mengajarkan orang untuk menerima akan segala hal yang terjadi dalam hidupnya, entah itu baik maupun yang buruk. Namun, konsep ini membawa orang kepada sikap fatalistik, di mana semua hal dianggap telah ditakdirkan oleh yang ilahi.[9] Konsep ini menghantarkan orang untuk tidak berusaha dalam hidupnya karena semua telah digariskan oleh yang ilahi. Ketika manusia menginginkan sesuatu, misalnya kehidupan yang layak semuanya mereka gantungkan pada takdir dan tidak ada usaha untuk memperoleh akan kehidupan yang layak tersebut.  ketika semua yang terjadi adalah takdir maka watak manusia pada hakikatnya tidak dapat diubah. Manusia yang jahat, yah dibiarkan jahat karena ia telah ditakdirkan untuk menjadi yang jahat oleh yang ilahi. Hidup yang dijalani menjadi hidup yang monoton tidak ada suatu usaha untuk membuat hidup ini menjadi dinamis karena semua diserahkan kepada takdir. Selain itu, karena semua hal diserahkan kepada takdir, orang menjadi bingung untuk melangkah, yang manakah yang menjadi takdirnya. Ketika seseorang ingin menjadi seorang guru, ia akan kebingungan apakah takdirnya adalah menjadi seorang guru atau tidak. Jika ia memaksakan kehendaknya untuk menjadi guru, kemungkinan itu bisa merupakan takdirnya atau malah ia sedang melawan kodrat alam. Mungkin hal-hal inilah yang harus diperhatikan oleh orang Jawa saat ini, bahwa semua hal itu tidak bergantung pada takdir tetapi kepada kemauan. Namun kemauan ini janganlah bersifat untuk kepentingan diri sendiri saja tetapi juga tidak merugikan orang lain dan juga alam semesta.
Selain itu, sikap nrima dalam tradisi Jawa juga perlu ditelaah kembali oleh orang Jawa. Dengan sikap nrima ini, orang Jawa seringkali tidak mengungkapkan akan perasaan yang ia sedang rasakan. Menutupi akan perasaan yang ada, bagi mereka adalah suatu sikap untuk memperoleh akan kedamaian jiwa dan menghindari akan suatu pertengkaran. Namun sebenarnya, dengan sikap nrima tersebut malah membuat batinnya tersiksa. Misalnya saja seseorang yang ingin marah, karena perasaan itu tidak boleh diungkapkan malah akan membuatnya tersiksa. Jika marahnya hanya sekali saja ditekan maka tidak akan terlalu berpengaruh pada kondisi tubuh karena hormon adrenalin menetralkan kembali akan emosi tersebut. namun, jika kemarahan itu berlebihan dan mamaksa diri untuk meredam akan emosi tersebut, maka seseorang dapat terkena serangan jantung karena membutuhkan adrenalin yang banyak untuk menetralkan emosi tersebut . Demikian pula dengan perasaan gembira. Jika perasaan tersebut ditekan maka akan menimbulkan penyakit psikosomatis.[10] Sikap nrima ini seharusnya ditelaah lebih lanjut lagi. Paham tentang nrima seharusnya dipraktekkan pada suatu kenyataan yang telah terjadi. Namun menerima disini tidak berarti pasif tetapi menerima yang bersifat aktif. Menerima tidak boleh dihubungkan dengan perasaan karena setiap perasaan yang dirasakan oleh manusia haruslah diungkapakan agar mencapai akan ketenagan batin. Namun, pengungkapan perasaan tersebut bukanlah yang membabi buta. Emosi memang harus diakui dan dihargai tetapi juga emosi harus ditempatkan sistem nilai-nilai yang ada.
Penutup
            Seringkali dalam kehidupan ini, orang selalu memutlakan setiap hal yang ia percayai tanpa berusaha mengkaji lagi akan apa yang telah ia percayai. Suatu kepercayaan seharusnya bisa terbuka dengan hal-hal lain. Selain itu, suatu kepercayaan juga tidak boleh merugikan akan salah satu pihak, baik itu manusia itu sendiri, maupun sesuatu yang diluar dari diri manusia. Suatu kepercayaan seharusnya harus selalu dikaji lagi. jika memang terdapat sesuatu yang salah, maka tidak ada salahnya mengubah yang salah itu dan membuatnya menjadi sempurna seperti yang diharapkan. Keterbukaan (yang bertanggung jawab) merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai akan keharmonisan di dalam dunia ini. Siap menerima kritikan dan masukan juga harus diperhatikan agar tercipta akan kedamaian dalam batin manusia itu sendiri. Setiap hal pasti memiliki cacatnya sendiri namun kecacatan tersebut bukanlah menjadi suatu yang buruk tetapi yang paling penting adalah mengubah yang cacat tersebut untuk menjadi baik.







Daftar Pustaka
Covey, Sean.
1998    The Seven Habits of Highly Effective Teens. New York: Fireside.

Diktat Etika Jawa mengenai ‘Esensi Terdalam dalam Religiositad Orang Jawa’.

Diktat Etika Jawa mengenai ‘Takdir’

Geertz, Clifford.
1983    Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Hadiwijono, Harun.
1989    Sari Filsafat India. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hartono, F.
1987    Iman dan Perasaan. Yogyakarta: Kanisius.
Mulder, Niels.
1978    Mysticsm and Everyday life in Contemporary Jawa. Singapore: Singapore University Press.

Sanjiwani, Riyanto.
1993    “Mistik Jawa Kontemporer” dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: Gramedia.


[1] Diktat Etika Jawa mengenai ‘Esensi Terdalam dalam Religiositad Orang Jawa’.
[2] Niels Mulder, Mysticsm and Everyday life in Contemporary Jawa (Singapore: Singapore University Press, 1978)p.  38
[3] Riyanto Sanjiwani, “Mistik Jawa Kontemporer” dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur (Jakarta: Gramedia, 1993)p. 126
[4] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983)pp. 323-325
[5] Diktat Etika Jawa mengenai ‘Takdir’
[6] Geertz, Abangan,... p. 325
[7] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989)p. 32
[8] Sean Covey, The Seven Habits of Highly Effective Teens (New York: Fireside, 1998)p. 55
[9] Penjelasan mengenai konsep ‘Takdir’ dalam kuliah Etika Jawa
[10] F. Hartono, Iman dan Perasaan (Yogyakarta: Kanisius, 1987)p. 18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar