Pendahuluan
Reformasi gereja bukan merupakan hal
yang baru lagi dalam lingkungan Kristiani terlebih ddalam kalangan Kristen
Protestan. Bila berbicara tentang reformasi maka tidak akan terlepas dari
pengaruh Renaisanns (abad pencerahan) dan humanisme yang terjadi di Eropa.
Keduanya memberi aspirasi baru bagi kehidupan manusia hingga saat sekarang.
Renaisanns
yang terjadi pada akhir abad 14-17 dan puncaknya pada tahun 1500 telah membawa
banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Manusia mulai melihat kembali
siapakah dia yang sebenarnya, sehingga manusia mulai keluar dari kehidupannya
yang sebelumnya. Pada masa ini juga mulai muncul bahasa Jerman (bahasa
nasional). Ada beberapa penyebab berkembangnya Renaissans ini, yaitu
1.
Asimilasi
pengetahuan dan kebudayaan Yunani dan Arab
2.
Struktur
sosial dan politik Italia bukan sebagai suatu kesatuan politik lagi melainkan
negara-negara kecil dan wilayah yang memiliki kebebasan politik, dan
3.
Kematian
hitam, dimana orang mulai tidak percaya pada agama sehingga ilmu pengetahuan
mulai dikembangkan di Eropa.
Reinassans
mempengaruhi reformasi karena pada zaman renaissans mulai muncul
percetakan-percetakan yang membantu para reformator.
Humanisme
merupakan aliran yang bertujuan untuk menghidupkan rasa peri kemanusiaan dan
mencita-citakan pergaulan hidup yang baik, sehingga menganggap manusia sebagai
obyek studi terpenting. Humanisme juga merupakan perkembangan dari Reinassans
atau cabang dari Renaissans. humanisme memberi perhatian pada masalah-masalah
dan nilai-nilai yang menjadi prinsip bagi kehidupan bersama umat manusia. Yang
diutamakan pada humanisme adalah kebahagiaan setiap individu. kebahagiaan
setiap individu merupakan nilai yang paling tinggi. Prinsip-prinsip humanisme
ini pula yang mempengaruhi akan reformator sehingga mereka pun melakukan
reformasi terhadap gereja.
Reformasi itu sendiri menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan radikal untuk perbaikan dalam suatu
masyarakat atau agama, baik itu dalam bidang politik, sosial, maupun agama.
Istilah reformasi secara langsung memberikan kesan bahwa kekristenan Eropa
Barat sedang diperbaharui. Namun Reformasi gereja yang dimaksud pada awalnya
merupakan suatu gerakan yang ingin memperbaiki hal-hal tertentu saja dalam
Gereja Katolik.[1]
Oleh karena keinginan yang begitu besar untuk memperbaiki akan hal-hal yang
dianggap salah dalam gereja, maka
muncullah tokoh-tokoh reformator, seperti Marthin Luther dan Yohanes Calvin.
Namun sebelum kedua tokoh ini sudah ada dua tokoh yang terlebih dahulu ingin
merubah beberapa hal dalam gereja. kedua tokoh itu adalah John Wicliff dari
Inggris (1328-1384) dan John Huss dari Ceko (1369-1415). Namun kedua tokoh ini
tidak berhasil dalam melakukan perubahan dalam gereja karena tidak mendapat
dukungan dari siapapun. Perjuangan mereka dilanjutkan oleh Marthin Luther dan
Yohanis Calvin. Namun yang dibahas dalam paper ini merupakan reformasi yang
dilakukan oleh Marthin Luther.
Latar Belakang Reformasi
Reformasi gereja yang terjadi di
Eropa Barat tidak dapat terlepas dari keadaan masyarakat Eropa Barat dan
organisasi gereja-gereja yang ada pada saat itu. Dalam struktur hierarki
gereja, hierarki paling tinggi adalah Paus yang berdomisili di Basilica St.
Petrus (Roma). Oleh karena itu, Paus memiliki wewenang yang begitu besar dalam
gereja namun wibawanya mulai berkurang. Paus yang ingin menyatukan seluruh
orang Kristen dibawah kepemimpinannya pun mulai pudar. Setiap raja-raja dan kaisar-kaisar ingin
menguasai daerah pemerintahannya sendiri, begitupun gereja-gerja yang ada dalam
wilayah kepemimpinannya. Pada saat itu pula perekonomian di Eropa sedang
mengalami perkembangan yang begitu pesat sehingga sistem sosial yang ada
sebelumnya tidak cocok lagi dengan kenyataan yang ada pada saat itu.[2]
Oleh karena perkembangan ini, masyarakat mulai kritis pada keadaan yang ada dan
berlaku dalam masyarakat. Gereja menjadi sasaran empuk yang dikritisi oleh
masyarakat karena gereja merupakan salah satu tiang penyangga bagi masyarakat
pada saat itu. Selain itu, dalam kebudayaan Eropa secara umum mulai muncul
keinginan untuk mempelajari akan kebudayaan
Yunani dan Romawi sehingga orang-orang ingin kembali pada dunia kebudayaan kuno
mereka. Sikap ini juga yang mempengaruhi
akan munculnya reformasi karena mereka terdorong untuk mempelajari Alkitab
dalam bahasa asli karena sebelum munculnya perkembangan ini, masyarakat
hanyalah robot yang diperintahkan oleh para rohaniawan karena Alkitab yang digunakan
pada saat itu berbahasa Latin sehingga yang mengerti akan isi Alkitab itu
hanyalah Paus dan rohaniawan. Oleh karena itu, banyak jemaat yang sudah bosan
dengan kaum rohaniawan yang hanya mementingkan akan kepentingan mereka sendiri
tanpa mau memperhatikan akan jemaatnya.
Selain krisis kepausan yang melatar
belakangi munculnya reformasi, ternyata pada saat itu, muncul pula krisis
rohani di tengah jemaat. Banyak orang mencari pengalaman yang bersifat mistik.
Namun ada juga (khususnya rakyat sederhana) yang menyatakan kesalehannya dengan
hal-hal yang berbau lahiriah seperti penghormatan kepada santo dan santa,
berziarah ke tempat-tempat yang dianggap kudus dan juga mengadakan misa bagi
orang-orang yang telah meninggal.[3]
Karena pernyataan kesalehan yang seperti ini, banyak orang yang berpendidikan
menganggap itu sebagai ketakhayulan. Gereja pun tidak mampu menjawab akan
kebangkitan rohani yang terjadi dalam Gereja. Gereja sibuk memikirkan akan
hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan rohani jemaat. Gereja hanya
memikirkan akn teologi-teologi yang
berkembang pada saat itu, terjebak dalam diskusi-diskusi skolastik. Selain itu,
pelayan-pelayan dan pemimpin-pemimpin gereja hanya mementingkan akan hal-hal
yang bersifat organisatoris saja. Oleh karena itu, jemaat menganggap bahwa
organisasi merupakan penghalang bagi pertumbuhan rohani jemaat, sehingga banyak
orang (jemaat) merindukan akan gereja yang mementingkan akan Iman Kristen yang
sesuai dengan Alkitab, seperti pada masa para Rasul dan juga tulisan-tulisan
bapa-bapa kuno, seperti tulisan dari St. Augustinus.
Karena sifat mementingkan diri dari
para pemimpin dan pelayan Gereja, maka tampillah tokoh reformator (Martin
Luther) yang ingin merubah akan sistem yang ada dalam gereja secara radikal untuk merubah sistem-sistem yang salah
dalam gereja
Martin Luther
Martin Luther berasal dari keluarga
sederhana, yaitu keluarga petani yang tinggal di negeri Thüringen. Namun karena
menginginkan penghidupan yang lebih layak orang tuanya pindah ke Eisleben dan
menjadi penggali tambang tembaga di sana.[4] Ayahnya
bernama Hans Luther dan ibunya bernama Magdalena Lindemann. Martin Luther lahir
pada tanggal 10 November 1483 dan pada keesokan harinya ia dibaptis di gereja
Petrus dan ia diberi nama sesuai dengan nama Santo pada saat itu yaitu St.
Martinus dari Tours, sehingga ia diberi nama Martin. Martin Luther dididik
menurut cita-cita agama zamannya karena orang tuanya pun dikenal sebagai
keluarga yang setia pada gereja Katolik Roma. Karena didikan yang sedemikian
rupa pula yang membuat Luther ketakutan bila mendengar nama Kristus karena dia
memandang Kristus sebagai seorang hakim yang keras dan pemurka.[5]
Martin Luther dikenal sebagai murid
yang pandai. Oleh karena itu, ayahnya mengirimnya ke sekolah menengah di kota
Magdeburg untuk mendapat pendidikan yang baik. Luther dan teman-temannya
memiliki kebiasaan menyanyi di lorong-lorong kota untuk mencari nafkah. Oleh
karena sering menyanyi itu pun sehingga Luther dikenal sebagai seorang yang
berbakat dalam bidang musik. Pada umur 17 tahun Luther lulus pada sekolah
menengah dan memasuki universitas di Erfurt. Ayahnya sangat menginginkan Luther
menjadi seorang ahli hokum. Oleh karena itu, Luther perlu mempelajari ilmu
filsafat terlebih dahulu. Karena mempelajari ilmu filsafat, Luther pun harus
mempelajari theology scholastic, yang pada saat itu masih menguasai universitas
di Erfurt. Namun filsafat dan teologi skolastik tersebut dibuangnya namun
pandangan Occam mempengaruhi akan pikirannya dalam beberapa hal.
Pada tahun 1505, Martin Luther lulus
dalam ujian dengan gelar magister artes
sehingga ia diperbolehkan untuk menuntut ilmu hukum, namun secara tiba-tiba
terjadi perubahan besar dalam diri Luther. Dalam perjalanannya menuju rumah
orang tuanya, ia ditimpa hujan deras dan disertai guruh dan halilintar yang membuatnya
sangat ketakutan. Ia pun meminta kepada St. Anna[6]
untuk menolongnya dengan memberikan janji bahwa ia akan menjadi rahib. Luther
memang menepati janjinya. Dua minggu kemudian ia masuk biara yang memiliki
aturan yang begitu keras, yaitu ordo Eremit Augustin. Keinginan Martin untuk
menjadi rahib sangat membuat ayahnya terpukul dan kecewa. Teman-temannya pun
tidak menyetujui ia menjadi rahib karena mereka akan kehilangan seseorang yang
berbakat dalam musik. Ayahnya sangat marah terhadapnya karena ia tidak mengabulkan
permintaan ayahnya supaya ia menjadi ahli hukum. Namun Martin tetap
mempertahankan akan niatnya karena dalam pikiran Martin, jika seseorang ingin
mengorbankan sesuatu untuk Allah maka ia harus mengorbankan sesuatu yang paling
indah dan molek bagiNya.[7]
Selama 16 tahun ia tidak berhubungan dengan ayahnya karena ayahnya masih marah dan
kecewa terhadapnya. Namun pada akhirnya pula konflik diantara mereka bias
dipadamkan. Nazarnya yang hanya sesaat itu boleh dikatakan sebagai pengalaman
batinnya. Dalam biaranya ia berharap mendapat damai bagi jiwanya yang takut
akan maut dan neraka karena itulah hal yang selalu dicari-carinya.
Dalam
biara Augustin itu, Martin dikenal paling cakap diantara rahib-rahib yang
seangkatan dengannya. Para pemimpin-pemimpin biara Augustin pun menyuruhnya
untuk menuntut ilmu teologi. Sehingga pada tahun 1507 ia ditahbiskan menjadi
imam dan pada tahun berikutnya ia dikirim ke Wittenberg untuk meneruskan akan
studinya, yaitu studi teologi. Namun pada tahun ia kembali ke Erfurt untuk memberikan
pelajaran tentang dogmatik di situ.
Pada
tahun 1510 Luther dikirim ke Roma sebagai utusan dari ordo Augustin untuk
memecahkan persoalan mengenai aturan-aturan dalam ordo Augustin itu. Kesempatan
ini tidak disia-siakan oleh Martin karena ia berpikir bahwa ketenangan batin
yang selam ini ia cari akan ia dapatkan di sana, mengingat Roma merupakan pusat
agama Kristen pada waktu itu. Karena keinginannya
yang begitu besar untuk mencari kedamaian baginya, maka ia pun mengikuti setiap
ritual suci di Gereja St. Petrus. Ia pun menaiki setiap tangga gereja dengan
lututnya dan berdoa Bapa Kami untuk para nenek moyangnya yang telah meninggal.
Doa ini menurut aturan pada saat itu adalah untuk melepaskan mereka dari siksa
yang masih dialaminya di dunia seberang sana. Namun ketika ia menaiki anak
tangga yang terakhir, ia mempertanyakan akan tindakan yang ia lakukan itu. Benar
atau salahkah. Akhirnya ia pun mengambil suatu kesimpulan bahwa surat
Penghapusan Siksa di Purgatoriumlah yang merajai jemaat pada saat itu dan bukan
bagaimana mengalami anugerah Allah.[8]
Kembalinya
ke Wittenberg, dua tahun kemudian ia mencapai gelar “doctor dalam Kitab Suci”
dan diangkat menjadi guru besar dalam ilmu teologi di Wittenberg. Tugas
utamanya adalah menafsirkan Alkitab, dan sampai pada tahun 1517 ia menafsirkan
Kitab Mazmur dan surat-surat Paulus, seperti Roma, Galatia dan Ibrani. Pada
saat itu juga ia mengepalai akan kesebelas biara propinsinya dan harus
berkhotbah dan melayani jemaat di Wittenberg.
Ketakutan Menjadi Motivasi
Walaupun
telah menjadi mencapai kemajuan yang gemilang, telah menjadi seorang professor,
namun kegalauan hatinya akan ketakutannya pada maut dan api neraka. Ia ingin
selamat dari hari kiamat itu namun ia tak tahu bagaimana menyelamatkan dirinya.
Berbagai cara ia lakukan untuk melepaskan jiwanya dari ketakutan yang selama
ini mencekamnya. Ia berusaha dan bersungguh-sungguh melakukan amal di dunia
seperti yang dilakukan oleh orang-orang lainnya. Mengikuti segala cara yang diperintahkan
oleh gereja. Ia tak kenal lelah berpuasa, berjaga-jaga pada waktu malam, sering mengaku dosa dan menerima sakramen
Misa. Oleh karena begitu rajinnya ia melakukan akan titah gereja, maka di mata
teman-temannya, Lutherah yang paling saleh, rajin dan beramal di dalam biara
itu. Namun, walaupun segala cara telah ia lakukan, segala aturan dan segala
yang diperintahkan gereja telah dilakukannya, namun ia belum juga mendapatkan damai
dan kententraman bagi jiwanya. Luther malah merasa ia semakin jauh dari rahmat
Allah karena ia mengerti bahwa segala perbuatan manusia meski sangat baik dan
saleh sekalipun, tidak berharga di hadapan Tuhan. Luther tidak percaya lagi
bahwa setiap dosa manusia dihitung dalam buku kas Sorgawi. Lutherpun insaf. Ia
kemudian berpikir dan menganalogikan dirinya seperti pohon. Jika mengharapkan
sesuatu yang baik dari pohon itu, maka terlebih dahulu harus melihat apakah
pohon itu baik atau tidak. Luther menyadari bahwa mustahil ia akan mendapat
damai dan ketentraman bagi dirinya karena ia tahu bahwa semua yang dilakukannya
tidak benar-benar dari hatinya yang palin dalam, tidak benar-benar tulus. Ia
menyadari bahwa selama ini ia mementingkan akan dirinya sendiri. Ia mencari
keselamatan untuk dirinya sendiri dan bukan untuk kehormatan dan kemuliaan nama
Allah. Makin besar usaha Luther untuk menyucikan dirinya, makin sadar pulalah
ia bahwa ia semakin menuju ke dalam kebinasaan. Allah yang rahmani yang
dicarinya semakin jauh saja dirasakannya, sehingga ia mulai putus asa.
Terkadang hatinya terhibur bila ia
bercakap-cakap dengan pemimpin biaranya, Johan von Staupitz. Johan
menasehatinya agar percaya kepada rahmat Kristus dan memandang luka-luka yang
dialami oleh sang Juruselamat. Menurut Staupitz lebih baik seperti itu dari
pada merenungkan apakah kita terpilih menjadi orang yang diselamatkan atau
tidak karena barangsiapa yang percaya pada Kristus, ia dapat yakin bahwa ia telah
dipilih.[9]
Nasehat-nasehat dari Staupitz cukup menghiburkan hatinya namun tetap tidak
dapat melenyapkan keresahan dalam hatinya karena semuanya itu berdasarkan
sakramen-sakramen Gereja dan amal serta jasa manusia saja.
Akhirnya, segala kegalauan dalam hatinyapun
dapat terobati dari Firman Tuhan sendiri (Alkitab). Dalam keputus asaanya itu
ia meneukan dalam surat Roma 1: 17 tentang tafsiran baru mengenai “keadilan
Allah” (iustitia Dei) yang merupakan
istilah yang menjadi kunci dalam ajaran mengenai pembenaran manusia (iustificatio).[10] Pada
awalnya Luther tidak mengerti akan maksud dari Roma 1: 17 yang berbunyi : “Sebab
di dalamnya (Injil) nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman, seperti ada
tertulis :orang benar akan hidup oleh iman.” Siang dan malam Luther menggumuli
akan maksud Paulus menulis seperti itu. Apa hubungan antara kebenaran dan iman
kita. Akhirnya dengan tiba-tiba, terlintaslah pikiran terang kepadanya, ketika
ia duduk merenung di menara biaranya (Turmerlebnis).
Luther menyadari bahwa kebenaran Allah itu tidak lain dari pada suatu pemberian
yang dianugerahkanNya kepada manusia untuk memberi hidup yang kekal kepadanya;
dan pemberian itu harus disambut dengan iman yang tulus. Dengan kata lain,
kebenaran yang dimaksudkan Paulus dikaruniakan Allah adalah kemenangan yang
dialami Yesus dari salib dan kebangkitanNya. Lutherpun akhirnya mulai
mendapatkan akan kedamaian dan kententraman yang selama ini dicari-carinya. Hal
ini terjadi sekitar tahun 1514.
Segera pandangan-pandangan yang
mengherankan itu mulai tersebar di Wittenberg. Skolastik dan Aristoteles mulai
ditolak oleh orang-orang. Alkitab dan teologia Agustinus menjadi hal yang asyik
untuk dipelajari Luther, serta diuraikannya dalam kuliahnya. Banyak
pandangan-pandangan baru yang didapatnya dari kitab-kitab Agustinus. [11]
Luther
tidak menyadari bahwa penemuan dan pertemuannya itu akan menimbulkan suatu
reformasi dalam gereja. Cukup bagi Luther untuk membentangkan Injil yang telah
menolongnya dalam khotbah dan pengajarannya. Walaupun awalnya Luther tidak
ingin memperbaharui gereja, namun kenyataan yang terjadi membuatnya harus
melakukan reformasi. Penemuan ini yang nanti akan meledak dan meruntuhkan
susunan gereja
Indulgensia
Awal timbulnya reformasi gereja
adalah perbedaan antara teologi dan praktek gereja dengan ajaran Alkitab
seperti yang ditemukan oleh Luther. Namun
pemimpin-pemimpin gereja pusat tidak menyadari akan bahaya yang mengancamnya.
Paus Leo X dan tokoh-tokoh gereja lainnya sibuk memikirkan akan pembangunan
gereja raksasa, yaitu gereja Santo Petrus di Roma, yang melambangkan keagungan
Gereja Barat. Lalu Paus pun menyarankan kepada Uskup Agung Albrecht dari Mainz
untuk memperdagangkan surat penghapusan dosa secara besar-besaran di Jerman.[12]
Perdagangan Indulgensia dengan maksud “tertentu” ini tidak diketahui oleh umat
Kristen dan Luther pun tidak mengetahuinya. Namun cara menjalankannya
menimbulkan suatu kecurigaan tersendiri. Surat kuasa yang diberikan Albrecht
kepada para penjual menimbulkan sangkaan bahwa surat penghapusan siksa itu juga
dapat menebus dosa.
Johan Tetzel, seorang Dominician
merupakan kepala penjualan indulgensia ini. Tetzel melakukan propaganda
besar-besaran yang mengosongkan dompet rakyat Jerman untuk mengisi kantong
Albrecht dan Leo X. Syarat indulgensia yaitu penyesalan yang sungguh-sungguh
tidak disebut lagi. Para pembeli mengaku dosa pada rahib-rahib yang tidak
mereka kenal. Rahib-rahib ini membantu Tetzel dalam melancarkan akan penjualan
indulgensia itu. Tetzel memperdaya masyarakat bahwa indulgensia selain
mengahapus dosa pembeli juga dapat melepaskan akan keluarganya dari api
penyiksaan di alam seberang. Kata-kata Tetzel yang melegenda berbunyi : “As
soon as the money jingles in the chest, the soul springs out of Purgatory”. [13]
Jadi begitu koin masuk dalam peti sumbangan, jiwa mereka akan keluar dari azab
Api Penyucian.
Bereaksi pada penyalahgunaan
indulgensi itu, Luther pada vigili hari raya semua orang kudus (31 Oktober
1517) mengirimkan 95 dalil pada beberapa uskup dalam bahasa Latin tentang
tesis-tesis mengenai indulgensia. Karena tidak ada respon balik dari para uskup
maka Lutherpun mengirimkan 95 dalil itu kepada teolog-teolog. Indulgensia hanya
merupakan silih humum kanonik, yang ditanggungkan gereja dan bukan merupakan
sesuatu yang diperhatikan di dunia sana, tidak dapat diaplikasikan kepada para
arwah. Dalam waktu singkat, penjualan indulgensia itupun kehilangan untung
besar. Hal ini menimbulkan kemarahan besar bagi Albrecht dan banyak orang
lainnya yang terkait dengan penjualan indulgensia itu. Luther dituduh sebagai
seorang penyesat.
Reaksi Hierarki Gereja Roma
Beredarnya tesis-tesis tentang
indulgensia itu membuat Paus merasa terusik. Awalnya ia tidak memperhatikan hal
itu. Ia hanya menganggap bahwa hal itu hanya pertengkaran diantara para rahib
saja. Iapun meminta Luther untuk memungkiri akan pandangan-pandangannya yang
sesat itu, tetapi Luther tetap berdiri pada tempatnya. Luther menjelaskan akan
dalil-dalilnya kepada paus dalam sepucuk surat. Paus meminta Luther untuk
menghadap kepausan dalam tempo 60 hari.[14] Namun
Friederich “yang bijaksana” meminta agar Luther didispensasi untuk hadir di
Roma; dan cukuplah ia diinterogasi di Augsburg oleh Kardinal Thomas de Vio.
Paus tidak berani melawan permintaan Friederich karena ia ingin mecalonkan
Friederich pada pemilihan kaisar pada tahun 1519, karena pencalonan Karel V
dari Spanyol tidak disetujuinya. Namun
proses interegosai yang dilakukan oleh Thomas de Vio (Cajetanus) tidak
mebuahkan hasil karena Luther tetap pada pendiriannya dan tidak mau menarik
dalil-dalil yang telah dikeluarkannya. Luther meminta agar ia diadili oleh Paus
sendiri atau mengadakan konsili untuk menimbang dan memutuskan akan perkaranya.
Kemudian pada bulan Juni 1519
terjadi perdebatan yang sengit antara Luther dan Johan Eck (guru besar di kota
Ingolstad, Bavaria) di Leipzig. Walaupun Eck tidak berhasil membuat Luther
meninggalkan akan ajarannya, namun berhasil menjelaskan untuk pertama kalinya
kepada publik doktrin tentang primat dan infalibilitas konsili-konsili. Namun
sebenarnya yang beruntung adalah Luther karena dari perdebatan ini ia menyadari
bahwa hanyalah Alkitab yang menjadi ukuran dan patokan dan bukan paus ataupun
konsili. Hanyalah Firman Tuhan yang berkuasa atas orang beriman. Setelah
perdebatan sengit itu, Eck pun beranjak ke Roma untuk membantu mempersiapkan
kecaman terhadap Luther.
Pada tanggal 15 Juni 1520, Paus Leo
X mengeluarkan bulla Exsurge Domine
(Bangkitlah Tuhan), yang menutup proses terhadap Luther. Bulla ini mengecam 41
tesis yang ditarik dari ajaran-ajaran Luther. Eck dan Duta Besar, Aleander yang
bertanggung jawab atas penyebaran bulla itu. Mereka mendesak Luther untuk
menarik ajarannya itu dalam 2 bulan. Mengikuti desakan mereka berarti ia harus
menarik ajarannya yang telah tersebar luas. Lagi pula sudah banyak barisan di
belakang Luther dan bahkan Sylvester von Schaumburg menawarkan pada Luther perlindungan
berkekuatan 100 bangsawan Frankonian; Franz von Sickengen dan Ulrich Hutten,
yang menjunjung Luther setinggi langit sebagai : “Pemerdeka Jerman.”[15]
Pada tahun 1520, Luther menerbitkan
buku “An den christlichen Adel deutscher
Nation ( Kepada Bangsawan Kristen Bangsa Jerman). Buku ini dikhususkan
untuk orang Jerman. Dalam buku ini Luther ingin merobohkan akan 3 (tiga) tembok
yang memungkinkan gereja Roma bertahan. Tembok pertama adalah perbedaan antara
imam (kekuasaan spiritual) dan awam (kekuasaan duniawi). Tembok yang kedua
adalah hak istimewa hierarki untuk menafsirkan Kitab Suci. Tembok yang ketiga
adalah previlese paus untuk memanggil konsili.
Kemudian Luther menulis buku “De captivitate babylonica ecclesiae
praeludium (Perihal Malapetaka Pembuangan Babilonia Gereja). Buku ini
bertujuan untuk menghancurkan doktin-doktrin gereja mengenai sakramen. Luther
tetap mempertahankan sakramen Baptis dan Ekaristi, sambil menyangkal
transubstansiasi dan makna kurban Ekaristi. Dalam De libertate Christiana (Tentang Kebebasan Kristen), Luther
menyanjung akan kebebasan (batin) manusia yang dibenarkan oleh karena iman dan
kesatuan dengan Kristus.[16]
Bagi Luther tindakan baik itu tidak bermanfaat sama sekali untuk pembenaran.
Tetapi tindakan baik itu wajib dilakukan karena manusia telah dibenarkan oleh
iman.
Setelah melewati batas waktu yang
ditentukan dari penetapan Exsurge Domine,
Melanchton[17]
bersama mahasiswa di Wittenberg ke lembah Sungai Elbe untuk melakukan ritus
pembakaran teks-teks hukum dan skolastik klasik serta buku-buku Eck. Luther
sendiri membakar Exsurge Domine, dan
sebuah salinan Kitab Hukum Kanonik, dasar yuridis bagi corpus Christianorum Abad Pertengahan. Dua hari berturut-turut
mereka berdemonstarsi melawan paus. Pemimpin Gereja Roma telah kelabakan dalam
mengatasi Luther dan para pendukungnya dan tidak tahu lagi bagaimana cara
mempertahankan kekuasaannya di Jerman tanpa dipermulakan. Akhirnya pada tanggal
3 Januari 1521, dikeluarkanlah bulla Decet
Romanum Pontificem yang mengekskomunikasikan Luther dan para pendukungnya.
Popularitas Luther makin teruji. Di setiap
toko-toko buku di Worms berisikan buku-buku Martin Luther. Parlemen Worms
akhirnya memutuskan utnuk mengusir Luther dan para pengikutnya dari kekaisaran;
buku-bukunya dianggap sebagai bidah dan harus dimusnahkan; penyebaraluasa
doktrin Luther dilarang; siapa saja yang berkomunikasi dengan Luther maka ia
akan ditangkap dan harta kekayaannya akan disita.
Dalam perjalannya kembali ke
Wittenberg, Luther “diculik” oleh pasukan berkuda atas suruhan Friederich dari
Saxonia dan mengamankannya di Kastel Wartburg. Selama satu tahun (awal Mei 1521
hingga awal Maret 1522) Luther tinggal di kastel itu dan memakai nama samaran
Junker Georg. Dalam kastel ini, Luther merasa aman. Aktivitas sehari-harinya
adalah menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya yaitu Ibrani dan Yunani ke
bahasa Jerman. Ia selesai menerjemakan Alkitab dalam waktu 3 bulan dan dicetak
di Wittenberg pada September 1522 sehingga disebut September Testament. Cetakan pertama terjual 3000 ekslempar dan
cetakan keduanya pada bulan Desember dan disebut December Testament. Luther berusaha supaya terjemhan itu sedekat
mungkin dengan teks aslinya. Terjemahan tersebut membawa perubahan positif di
Jerman khususnya bagi perkembangan bahasa Jerman dan nasionalisme. Pada tahun
1534 berhasil menerjemahkan seluruh Alkitab. Luther juga menulis beberapa buku
sekunder , misalnya Komentar Tentang Paulus, Surat-surat Paulus, Bacaan-bacaan
Dalam Perjamuan Tuhan, Argumen-argumen Melawan Bulla Ekskomunikasi. Dan sebagai
tanda terimakasihnya kepada Friederich karena telah menculiknya setelah
ekskomunikasi kepausan dijatuhkan, ia menulis sebuah buku Magnificat
verdeutschet und ausgelegt (1521).
Refleksi Teologi
Alkitab
merupakan nama bagi kumpulan kitab-kitab yang diakui sebagai Firman Allah dan
juga sebagai kanonik. Alkitab dalam agama Kristen sangatlah diagung-agungkan
karena Alkitab dianggap sebagai Firman Allah yang secara langsung diberikan
Allah kepada manusia. Oleh karena pemikiran demikian, maka orang seringkali
salah menafsirkan akan isi Kitab Suci. Orang beranggapan bahwa apabila
melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam Alkitab
maka kita telah melakukan apa yang diinginkan oleh Tuhan. Orang tidak pernah
menganggap bahwa Alkitab adalah tulisan-tulisan yang yang ditulis oleh manusia
biasa yang disesuaikan dengan konteks jemaat pada saat itu. Misalnya saja dalam
Efesus 5: 22-24 dimana di dalam ayat ini dikatakan bahwa seorang istri harus
tunduk pada suaminya. Karena tidak menyesuaikan dengan konteks jemaat Efesus
pada saat itu, maka banyak isteri-isterpun tunduk pada perintah suaminya tanpa
melihat apakah perintah itu berakibat baik atau buruk. Karena salah penafsiran
pula, seringkali terjadi kekerasan dalam rumah tangga dimana suami menindas isterinya.
Isteri hanya meneima apa yang diperlakukan suaminya terhadapnya tanpa menuntut
keadilan sedikitpun. Selain dalam keluarga, ada beberapa gereja yang tidak
menerima pendeta perempuan karena salah menafsirkan ayat yang mengatakan bahwa
perempuan harus diam dalam suatu pertemuan.
Memang
tidak salah bila menjadikan Alkitab sebagai penuntun dalam pedoman dan tolak
ukur kita dalam menjalani kehidupan didunia ini, tetapi bagaimana menyesuaikan
akan isi Alkitab dengan konteks yang ada pada saat ini sehingga tidak terjadi
salah interpretasi terhadap Alkitab. Karena ketika terjadi salah interpretasi
terhadap Alkitab, maka akan terjadi salah interpretasi juga pada sifat Allah.
Bisa saja Allah dianggap sebagai Allah yang kejam dan tidak adil karena lebih
mengutamakan laki-laki dari pada perempuan. Jadi pemakaian Alkitab harus
disesuaikan dengan konteks dimana Alkitab itu akan diberitakan.
Daftar
Pustaka
Drewes,
B. F, Apa Itu Teologi, BPK Gunung
Mulia. 2007
End,
Th. van den, Harta Dalam Bejana. BPK
Gunung Mulia. 2009
Jounge,
Christian de, Gereja Mencari Jawab.
BPK Gunung Mulia. 1993.
Berkhof,
H, Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia.
2009
Boehlke,
Robert R, Sejarah Perkembangan Pikiran
dan Praktek Pendidikan Agama Kristen. BPK Gunung Mulia. 1997
Collins,
Michael & Matthew A. Price, The Story
of Christianity. Kanisius. 1999
Kristiyanto,
Eddy A, OFM, Sejarah Pustaka Reformasi
dari Dalam, Sejarah Gereja Zaman Modern. Kanisius. 2004
Lane,
Tony, Runtut Pijar. BPK Gunung Mulia.
1990
Edwards,
Mark U, Jr, Luther’s Last Battles.
Tuta Sub Aegide Pallas. 1983
[1] Drewes, B. F. dan J. Mojau, Apa
itu Teologi. 2007 . p 45
[2] End, Th. van den , Harta Dalam
Bejana, 2009. p 152
[4] Berkhof, H, Sejarah Gereja.
2009. p. 120
[5] End, Th. van den , Harta Dalam
Bejana, 2009. p 153
[6] St Anna dikenal sebagai St pelindung bagi mereka yang bepergian
[7] Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen I.
1997. p 309
[11] Ia mendapat ide-ide yang sama dalam karangan Agustinus (Roh dan Huruf)
[12] Penjualan indulgensia ini adalah untuk melunasi hutang Uskup Agung
Albrecht pada Fugger dan untuk membangun Gereja St. Petrus.
[14] Edwards, Mark U, Jr. Luther’s
Last Battles. 1983. p 70
[15] Kristiyanto, Eddy A, OFM. Sejarah Pustaka Reformasi dari Dalam,
Sejarah Gereja Zaman Modern. 2004.
p 60
[16] Lane, Tony. Runtut Pijar. 1990. p 132
[17] Salah seorang humanis dan juga rekan Luther di Wittenberg